Beberapa Alasan Mengapa Kita Sering Terjebak Berita Palsu, Hoax, dan Sejenisnya
Internet memang memudahkan banyak hal, salah satunya mendapatkan informasi. Dalam beberapa menit, informasi yang berada di ujung dunia sekalipun bisa langsung diketahui berkat keberadaan teknologi komunikasi yang satu ini. Tapi sisi gelapnya tentu saja banyak, salah satunya adalah tersebar masifnya informasi palsu, fake news, atau lumrah juga disebut hoax.
Berita sebenarnya merupakan hasil produksi jurnalistik yang cukup melelahkan. Itulah sebabnya menjadi jurnalis itu tak mudah, sebab dalam membuat sebuah berita ia wajib melakukan riset dan verifikasi fakta yang ketat. Namun saat ini, seseorang bisa disebut 'jurnalis' -tanda kutip- hanya berbekal duduk manis di depan komputer bahkan smartphone dengan koneksi internet yang baik. Sebab sumber informasi saat ini begitu terbuka dan bisa diakses siapapun.
Fenomena semacam ini akhirnya membuat situs-situs berita tumbuh subur dan pada akhirnya berita-berita palsu begitu cepat tersebar sebab diproduksi berulang-ulang, entah sengaja, tidak tahu, atau memang sengaja untuk tidak mau tahu. Dan hal-hal yang palsu ini semakin tumbuh subur sebab bertemu dengan konsumen yang memang menjadi pelahap utama dari kepalsuan tersebut. Kamu juga? Atau sedang bertanya-tanya mengapa orang-orang kog suka banget dengan hal-hal semacam ini?
Takut ketinggalan, takut dibilang kudet, atau bahasa kerennya FOMO (fear of missing out) menjadi sebab mengapa konsumen hoax tetap banyak.
Fear of missing out menjadi tersangka utama dari fenomena menjamurnya orang-orang dengan ponsel pintar tapi tak mampu mengendalikan jarinya. FOMO merupakan sebuah kondisi dimana seseorang takut sekali ketinggalan informasi, sehingga dengan cekatannya ia ringan sekali untuk memencet tombol share. Harapannya tentu saja agar ia menjadi orang yang pertama kali tahu, dan memberitahukan kepada follower-nya atau jejaring temannya betapa ia menjadi yang pertama tahu, atau paling tidak bahwa ia tahu tentang hal-hal yang baru. Padahal hoax.
Konsumen yang mengidap FOMO ini biasanya terjebak pada judul click bait. Misalnya sebuah judul 'Sebarkan Agar Para Wanita Selamat! Minum Ramuan Ini Sangat Bermanfaat Untuk Mereka' dengan gambar organ tertentu yang rusak dan gambar-gambar disturbing lainnya disertai lingkaran-lingkaran merah. Ia membagikan tautan-tautan semacam ini, atau postingan-postingan semacam ini di sosial medianya, tanpa membaca dengan seksama apa isi artikelnya! Betulkah begitu?
Apabila pihak yang menyebarkan informasi berada pada sisi yang sama, maka bukan hal yang penting untuk mengetahui fakta sesungguhnya.
Mau nggak mau, saya memberikan contoh termudah bagi kasus ini: Pro-Jokowi dan Pro-Prabowo. Konten apapun yang diproduksi oleh pro-Jokowi akan direproduksi dan dibagikan oleh para pihak yang sejalan, begitu juga sebaliknya. Nah, sialnya banyak diantara mereka yang membagikan konten ini tanpa melihat isinya, sehingga boleh jadi kontennya diproduksi oleh pihak ketiga tapi disebarkan karena isi kontennya sejalan. Padahal hoax.
Kalau dalam metode riset, orang-orang yang berpihak semacam ini akan menemukan bias dalam setiap risetnya terhadap fakta. Dalam Psychology Today ada beberapa bias yang bisa terjadi saat seseorang berupaya mencari fakta namun terkendala keberpihakannya sendiri pada apa yang sedang dirisetnya. Ada yang disebut My-side Bias, ada juga Authoritative Bias, dan Confirmation Bias. Kalau dijelaskan bisa panjang, tapi setidaknya ketiga bias itulah yang menghalangi seseorang menemukan fakta yang dicarinyam, sehingga ia mendapatkan informasi palsu yang hanya sesuai dengan pola keberpihakannya.
Masih menjadi follower, subscriber, dan teman dari para penyebar hoax? Bertaubatlah!
Ada kalanya, yang menjadi penyebar hoax adalah orang-orang yang kita hormati. Boleh jadi mereka adalah saudara sendiri, teman dekat, bahkan guru kita. Sehingga untuk memutus hubungan di media sosial agaknya menjadi suatu hal yang serba tidak enak. Untunglah di Facebook ada fitur Unfollow, dimana kamu masih tetap berteman tapi isi dari postingannya tak bakal ada di beranda kamu. Dan Twitter pun menyediakan fitur mute yang bisa dipakai untuk menyembunyikan semua kicauan dari yang bersangkutan.
Inti dari tindakan ini adalah membuang sumber-sumber informasi yang tidak kredibel. Tapi tentu saja cara melakukan filter itu setelah ada pengujian beberapa kali terhadap informasi yang dibagikan. Sebab boleh jadi baru sekali ia terpeleset membagikan hoax, dan ia tak tahu sama sekali atas apa yang dibagikannya.
Hal terakhir yang sepatutnya dilakukan agar kita tidak lagi terjebak pada hoax adalah senantiasa berpatokan sebagai seorang pencari ilmu atau seorang periset. Yakni tujuannya mencari ilmu pengetahuan baru dengan mengumpulkan sebanyak mungkin sumber-sumber informasi dari berbagai sisi. Catat ya, dari berbagai sisi. Kita boleh saja berpihak pada kelompok tertentu, tapi tentu tidak berpihak pada kesalahan dan kepalsuan.
Berita sebenarnya merupakan hasil produksi jurnalistik yang cukup melelahkan. Itulah sebabnya menjadi jurnalis itu tak mudah, sebab dalam membuat sebuah berita ia wajib melakukan riset dan verifikasi fakta yang ketat. Namun saat ini, seseorang bisa disebut 'jurnalis' -tanda kutip- hanya berbekal duduk manis di depan komputer bahkan smartphone dengan koneksi internet yang baik. Sebab sumber informasi saat ini begitu terbuka dan bisa diakses siapapun.
Fenomena semacam ini akhirnya membuat situs-situs berita tumbuh subur dan pada akhirnya berita-berita palsu begitu cepat tersebar sebab diproduksi berulang-ulang, entah sengaja, tidak tahu, atau memang sengaja untuk tidak mau tahu. Dan hal-hal yang palsu ini semakin tumbuh subur sebab bertemu dengan konsumen yang memang menjadi pelahap utama dari kepalsuan tersebut. Kamu juga? Atau sedang bertanya-tanya mengapa orang-orang kog suka banget dengan hal-hal semacam ini?
Takut ketinggalan, takut dibilang kudet, atau bahasa kerennya FOMO (fear of missing out) menjadi sebab mengapa konsumen hoax tetap banyak.
Fear of missing out menjadi tersangka utama dari fenomena menjamurnya orang-orang dengan ponsel pintar tapi tak mampu mengendalikan jarinya. FOMO merupakan sebuah kondisi dimana seseorang takut sekali ketinggalan informasi, sehingga dengan cekatannya ia ringan sekali untuk memencet tombol share. Harapannya tentu saja agar ia menjadi orang yang pertama kali tahu, dan memberitahukan kepada follower-nya atau jejaring temannya betapa ia menjadi yang pertama tahu, atau paling tidak bahwa ia tahu tentang hal-hal yang baru. Padahal hoax.
Konsumen yang mengidap FOMO ini biasanya terjebak pada judul click bait. Misalnya sebuah judul 'Sebarkan Agar Para Wanita Selamat! Minum Ramuan Ini Sangat Bermanfaat Untuk Mereka' dengan gambar organ tertentu yang rusak dan gambar-gambar disturbing lainnya disertai lingkaran-lingkaran merah. Ia membagikan tautan-tautan semacam ini, atau postingan-postingan semacam ini di sosial medianya, tanpa membaca dengan seksama apa isi artikelnya! Betulkah begitu?
Apabila pihak yang menyebarkan informasi berada pada sisi yang sama, maka bukan hal yang penting untuk mengetahui fakta sesungguhnya.
Mau nggak mau, saya memberikan contoh termudah bagi kasus ini: Pro-Jokowi dan Pro-Prabowo. Konten apapun yang diproduksi oleh pro-Jokowi akan direproduksi dan dibagikan oleh para pihak yang sejalan, begitu juga sebaliknya. Nah, sialnya banyak diantara mereka yang membagikan konten ini tanpa melihat isinya, sehingga boleh jadi kontennya diproduksi oleh pihak ketiga tapi disebarkan karena isi kontennya sejalan. Padahal hoax.
Kalau dalam metode riset, orang-orang yang berpihak semacam ini akan menemukan bias dalam setiap risetnya terhadap fakta. Dalam Psychology Today ada beberapa bias yang bisa terjadi saat seseorang berupaya mencari fakta namun terkendala keberpihakannya sendiri pada apa yang sedang dirisetnya. Ada yang disebut My-side Bias, ada juga Authoritative Bias, dan Confirmation Bias. Kalau dijelaskan bisa panjang, tapi setidaknya ketiga bias itulah yang menghalangi seseorang menemukan fakta yang dicarinyam, sehingga ia mendapatkan informasi palsu yang hanya sesuai dengan pola keberpihakannya.
Masih menjadi follower, subscriber, dan teman dari para penyebar hoax? Bertaubatlah!
Ada kalanya, yang menjadi penyebar hoax adalah orang-orang yang kita hormati. Boleh jadi mereka adalah saudara sendiri, teman dekat, bahkan guru kita. Sehingga untuk memutus hubungan di media sosial agaknya menjadi suatu hal yang serba tidak enak. Untunglah di Facebook ada fitur Unfollow, dimana kamu masih tetap berteman tapi isi dari postingannya tak bakal ada di beranda kamu. Dan Twitter pun menyediakan fitur mute yang bisa dipakai untuk menyembunyikan semua kicauan dari yang bersangkutan.
Inti dari tindakan ini adalah membuang sumber-sumber informasi yang tidak kredibel. Tapi tentu saja cara melakukan filter itu setelah ada pengujian beberapa kali terhadap informasi yang dibagikan. Sebab boleh jadi baru sekali ia terpeleset membagikan hoax, dan ia tak tahu sama sekali atas apa yang dibagikannya.
Hal terakhir yang sepatutnya dilakukan agar kita tidak lagi terjebak pada hoax adalah senantiasa berpatokan sebagai seorang pencari ilmu atau seorang periset. Yakni tujuannya mencari ilmu pengetahuan baru dengan mengumpulkan sebanyak mungkin sumber-sumber informasi dari berbagai sisi. Catat ya, dari berbagai sisi. Kita boleh saja berpihak pada kelompok tertentu, tapi tentu tidak berpihak pada kesalahan dan kepalsuan.
0 Response to "Beberapa Alasan Mengapa Kita Sering Terjebak Berita Palsu, Hoax, dan Sejenisnya"
Posting Komentar