Empat Poin Hakiki Agar #Bloggergate Tak Terjadi Lagi
"YouTuber Seksi Minta Menginap Gratis, Ditolak Lah Sama Hotel". Begitulah judul artikel dari Viva.co.id pada Sabtu (20/1). Isinya tentang sebuah hotel mewah yang menolak permintaan menginap gratis dari seorang beauty blogger.
Buat yang belum mengetahui kasus ini silakan googling kata kunci 'bloggergate'. Sebab artikel ini tak membahas secara spesifik keduanya, tapi berupaya untuk melihat masalah tersebut secara umum saja.
Dunia digital marketing memang memunculkan dua hal, pertama demand promosi dari pemilik bisnis, dan kedua, supply pengaruh dari para social media influencer.
Pada kasus bloggergate diatas, hotel adalah pemilik bisnis yang menurut pembacaan sang blogger, biasanya membutuhkan promosi di dunia digital, --dunia dimana sang blogger punya eksposure yang tinggi. Akhirnya penawaran untuk melakukan promosi pun dikirimkan lewat surel.
Pemilik bisnis yang menolak permintaan itu memang tak sedikit, apalagi untuk mereka yang sudah mapan baik secara bisnis maupun eksposur di media sosial. Sayangnya penolakan sang pemilik hotel itu dilakukan dengan cara, yang menurut saya, kurang elok.
Namun elok atau tidak, kembali lagi kepada kacamata yang menilai. Sebab meminta layanan gratis pun menurut saya juga tidak elok, meski ia adalah seorang artis.
Hikmahnya adalah...
Buat para blogger dimanapun, cerita ini setidaknya memberikan hikmah soal 'bisnis' digital marketing. Saya mencatatnya kedalam beberapa poin.
PERTAMA. Blogger mesti berkaca seberapa tinggi tingkat eksposurnya. Selain jumlah followers, yang perlu dilihat kembali adalah statistik jangkauan dari media sosial yang dimiliki. Semua media sosial punya statistik tentang seberapa besar tingkat eksposur kita untuk meyakinkan pemilik bisnis. Untuk blogger dikenal istilah PA dan DA untuk menggantikan Google Rank. Nah, kalau sudah tahu seberapa tinggi eksposurnya, seharusnya tahu menempatkan diri di posisi yang mana dalam bisnis digital marketing.
KEDUA. Kecerdasan membaca kemauan pemilik bisnis adalah hal yang penting. Misalnya kalau pemilik bisnis itu sudah punya eksposur yang tinggi di media sosial, tentu saja ia tak ingin membuang-buang uang meski harus menggratiskan kamar yang tak terpakai di hotelnya. Ada pula pemilik bisnis yang ingin diulas terlebih dahulu dalam beberapa artikel, kemudian mereka dengan sukarela menghubungi blogger untuk memberi reward.
KETIGA. Selalu menjaga harga diri dengan membayar setiap layanan yang diberikan oleh mereka yang kita review. Untuk soal ini silakan belajar dari Wisata Kuliner-nya almarhum Bondan Winarno. Tapi, jika sudah ada hitam diatas putih kalau kita diundang untuk acara tertentu dan ada poin bahwa fasilitas seperti akomodasi dan makanan disediakan secara gratis, ya mau bagaimana lagi kecuali menerimanya. Rejeki, 'kan?
KEEMPAT. Tujuan utama blogger sejatinya adalah berbagi dengan orang lain di dunia digital. Kalau kemudian blogger mendapatkan uang dari sana, ya itu namanya rejeki. Tapi kalau pun tidak mendapatkan rejeki berupa materi, pasti ada rejeki lain yang akan menggantinya. Ini nasehat klasik sih, tapi tentu tak akan lekang dimakan waktu. Betul?
Jadi, siapa yang salah soal kasus bloggergate diatas? Menurut saya sih keduanya salah, sang blogger tidak bisa menempatkan diri, atau menawarkan jasa yang tidak dibutuhkan oleh pemilik bisnis. Dan pemilik bisnis pun salah, karena telah mempermalukan sang blogger. Itu menurut saya. Kalau menurut kamu?
Buat yang belum mengetahui kasus ini silakan googling kata kunci 'bloggergate'. Sebab artikel ini tak membahas secara spesifik keduanya, tapi berupaya untuk melihat masalah tersebut secara umum saja.
Dunia digital marketing memang memunculkan dua hal, pertama demand promosi dari pemilik bisnis, dan kedua, supply pengaruh dari para social media influencer.
Pada kasus bloggergate diatas, hotel adalah pemilik bisnis yang menurut pembacaan sang blogger, biasanya membutuhkan promosi di dunia digital, --dunia dimana sang blogger punya eksposure yang tinggi. Akhirnya penawaran untuk melakukan promosi pun dikirimkan lewat surel.
Pemilik bisnis yang menolak permintaan itu memang tak sedikit, apalagi untuk mereka yang sudah mapan baik secara bisnis maupun eksposur di media sosial. Sayangnya penolakan sang pemilik hotel itu dilakukan dengan cara, yang menurut saya, kurang elok.
Namun elok atau tidak, kembali lagi kepada kacamata yang menilai. Sebab meminta layanan gratis pun menurut saya juga tidak elok, meski ia adalah seorang artis.
Hikmahnya adalah...
Buat para blogger dimanapun, cerita ini setidaknya memberikan hikmah soal 'bisnis' digital marketing. Saya mencatatnya kedalam beberapa poin.
PERTAMA. Blogger mesti berkaca seberapa tinggi tingkat eksposurnya. Selain jumlah followers, yang perlu dilihat kembali adalah statistik jangkauan dari media sosial yang dimiliki. Semua media sosial punya statistik tentang seberapa besar tingkat eksposur kita untuk meyakinkan pemilik bisnis. Untuk blogger dikenal istilah PA dan DA untuk menggantikan Google Rank. Nah, kalau sudah tahu seberapa tinggi eksposurnya, seharusnya tahu menempatkan diri di posisi yang mana dalam bisnis digital marketing.
KEDUA. Kecerdasan membaca kemauan pemilik bisnis adalah hal yang penting. Misalnya kalau pemilik bisnis itu sudah punya eksposur yang tinggi di media sosial, tentu saja ia tak ingin membuang-buang uang meski harus menggratiskan kamar yang tak terpakai di hotelnya. Ada pula pemilik bisnis yang ingin diulas terlebih dahulu dalam beberapa artikel, kemudian mereka dengan sukarela menghubungi blogger untuk memberi reward.
KETIGA. Selalu menjaga harga diri dengan membayar setiap layanan yang diberikan oleh mereka yang kita review. Untuk soal ini silakan belajar dari Wisata Kuliner-nya almarhum Bondan Winarno. Tapi, jika sudah ada hitam diatas putih kalau kita diundang untuk acara tertentu dan ada poin bahwa fasilitas seperti akomodasi dan makanan disediakan secara gratis, ya mau bagaimana lagi kecuali menerimanya. Rejeki, 'kan?
KEEMPAT. Tujuan utama blogger sejatinya adalah berbagi dengan orang lain di dunia digital. Kalau kemudian blogger mendapatkan uang dari sana, ya itu namanya rejeki. Tapi kalau pun tidak mendapatkan rejeki berupa materi, pasti ada rejeki lain yang akan menggantinya. Ini nasehat klasik sih, tapi tentu tak akan lekang dimakan waktu. Betul?
Jadi, siapa yang salah soal kasus bloggergate diatas? Menurut saya sih keduanya salah, sang blogger tidak bisa menempatkan diri, atau menawarkan jasa yang tidak dibutuhkan oleh pemilik bisnis. Dan pemilik bisnis pun salah, karena telah mempermalukan sang blogger. Itu menurut saya. Kalau menurut kamu?
0 Response to "Empat Poin Hakiki Agar #Bloggergate Tak Terjadi Lagi"
Posting Komentar