Redmi Note 7: Polemik Kamera Beresolusi 'Palsu'
Redmi, sub-brand baru dari Xiaomi, merilis smartphone pertamanya di arena CES 2019. Smartphone yang diberi nama Redmi Note 7 ini langsung menjadi perbincangan tersebab harganya menggiurkan. Price-to-spec Redmi Note 7 sangat menarik, ya memang khas Xiaomi. Namun Redmi Note 7 memantik pula sebuah polemik.
Diberitakan kamera belakang Redmi Note 7 memiliki resolusi yang cukup besar, yakni 48 megapiksel. Sebuah resolusi kamera yang membuat smartphone ini menjadi lebih menarik karena ya itu tadi, pada rentang harga Rp2 jutaan (jika dikonversi ke rupiah) smartphone ini punya resolusi yang sedemikian besar.
Hanya saja polemik pun muncul, karena chipset yang dipakai Redmi Note 7 'hanya' Snapdragon 660. Chipset ini, menurut penjelasan sang pembuatnya, Qualcomm, hanya memiliki ISP (Image Signal Processor) yang mendukung resolusi kamera hingga 25 megapiksel saja. Lalu darimana Redmi menambahkan sisa megapiksel tersebut? Apakah Redmi memalsukan spesifikasinya?
Sumbernya ada pada sensor yang dipakai Redmi Note 7. Sensor ini diketahui bernama ISOCELL GM1 yang dibuat oleh Samsung. Berdasarkan sumber yang resmi, sensor ini memang memiliki resolusi 48 megapiksel. Lalu bagaimana bisa Xiaomi eh maaf Redmi melakukannya? Sebetulnya bukan Redmi pelakunya, namun Samsung GM1 itu sendiri yang memang menjadi 'biang kerok' polemik ini.
Sebelum berlanjut, mari kita belajar dulu soal sensor pada kamera smartphone.
Sebagaimana diketahui, hardware penting yang ada pada kamera disebut sensor CMOS/CCD. Saat ini, sensor yang dipergunakan pada kamera smartphone adalah CMOS. Benda ini mampu mengoversi gambar optik menjadi sinyal elektronik. Pada peralatan kamera apapun, komponen inti terletak pada elemen photosensitive. Elemen ini memang sensitif, namun hanya sensitif pada cahaya, tidak pada warna.
Kalau sebuah sensor CMOS tadi hanya menggunakan photosensitive untuk menghasilkan gambar, maka yang ada hanyalah terang dan gelapnya foto hitam putih. Makanya dibuatlah model RGB untuk membuat foto berwarna. Model ini memang hanya terdiri atas tiga warna saja, yakni Red (merah), Green (hijau), dan Blue (biru). Namun penemuan model ini masih belum membuat foto berwarna yang maksimal.
Barulah kemudian seseorang bernama Bryce Bayer, yang kemudian disebut Bapak Digital Imaging, menciptakan foto berwarna dengan model RGB tadi. Ia menggabungkan ketiga warna tersebut dan menciptakan aneka warna dengan menambahkan sebuah filter di depan elemen photosensitive tadi.
Secara sederhana, apa yang diciptakan oleh Bayer dijelaskan pada gambar dibawah ini. Dimana blok abu-abu merupakan elemen photosensitive, sementara blok RGB berada diatasnya. Setiap piksel RGB terhubung dengan satu piksel elemen photosensitive. Nah, filter RGB ini kemudian disebut dengan Bayer filter.
Namun Bayer filter hanyalah sebuah tahap, meskipun punya andil besar dalam membuat foto hitam-putih menjadi berwarna. Sebab ketika sebuah foto hanya mengandalkan piksel satu-persatu, hasilnya masih jauh dari sempurna. Untuk itulah Bayer kemudian melanjutkan proses penyaringan lewat Bayer filter tadi menjadi sebuah susunan dari hasil filter tersebut. Proses penyusunan hasil jepretan tersebut kemudian disebut dengan Bayer array alias 'susunan Bayer'. Cara kerjanya kurang lebih seperti gambar ini.
Jadi secara singkat, ketika anda menjepret sebuah shutter, maka cahaya yang masuk akan diterima oleh elemen photosensitive kemudian diteruskan ke Bayer filter, dan terakhir dilakukan reproduksi warna sehingga menghasilkan gambar yang baik. Begitulah kira-kira.
Nah, proses diatas terjadi pada apa yang disebut dengan sensor kamera. Pada sebuah sensor tadi ada yang namanya piksel. Setiap piksel selalu mewakili satu warna RGB. Semakin banyak piksel, maka semakin banyak pula RGB-nya, dan pastinya gambar yang dihasilkan pun bakal lebih baik. Dengan rumusan ini, maka besaran resolusi kamera yang disimbolkan dengan satuan megapiksel dianggap lebih besar lebih baik. Itulah kenapa pabrikan kemudian menciptakan sensor dengan resolusi yang besar. Salah dua yang menciptakan sensor yang besar adalah Sony IMX586 dan Samsung GM1.
Sony IMX586 memiliki fitur unggulan yang disebut Quad Bayer. Pada susunan Bayer filter biasa, sebuah piksel akan membentuk susunan sendiri untuk masing-masing piksel tersebut. Namun melalui fitur Quad Bayer, satu filter disusun kedalam satu kelompok yang terdiri atas empat piksel. Setiap satu kelompok piksel ini barulah disusun seperti Bayer filter biasa.
Ketika pengguna kamera memencet shutter, maka Quad Bayer ini akan memberikan izin kepada setiap piksel untuk memperhitungkan warna yang ada dan melakukan konversi struktur piksel tadi kedalam sinyal tersendiri untuk menghasilkan foto dengan resolusi 48 megapiksel.
Sekali lagi, masing-masing piksel yang ada di setiap kelompok Quad bayer tadi tetap menghasilkan sinyal tersendiri secara independen. Resolusi 48 megapiksel yang dihasilkan sensor IMX586 memang asli buatan hardware yang dibenamkan oleh Sony, tanpa adanya interpolasi. Istilah interpolasi berarti memaksa gambar yang sebetulnya kecil atau beresolusi kecil menjadi besar atau beresolusi besar yang dihasilkan melalui software.
Untuk lebih jelas mengenai Quad Bayer bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Namun Quad Bayer yang terjadi pada Samsung GM1 tidak sama dengan IMX586. GM1 memang sama-sama memakai Quad Bayer, namun piksel yang membentuk kelompok tadi tidak bisa menghasilkan sinyal sendiri. Sehingga untuk menciptakan gambar dengan resolusi 48 megapiksel, Samsung membenamkan software untuk menciptakan interpolasi. Pada hakikatnya, gambar yang dihasilkan oleh hardware GM1 hanya 12 megapiksel. Hmmm... ketahuan 'kan?
Kira-kira seperti ini ilustrasinya:
Data ini diketahui dari situs Samsung sendiri, dimana resolusi sensor GM1 adalah 4000x3000 yang mana sama saja dengan gambar beresolusi 12 megapiksel.
Jadi, bisa terjawab mengapa Redmi Note 7 yang notabene memakai chipset Snapdragon 660 bisa memakai kamera dengan resolusi 48 megapiksel. Hal itu disebabkan secara hardware, GM1 sebetulnya hanya memiliki kemampuan menjepret foto dengan resolusi 12 megapiksel saja. Kemudian melalui olahan software bawaan sensornya, gambar yang sebetulnya 12 megapiksel itu diinterpolasi menjadi 48 megapiksel. Jadi sebetulnya, tidak ada kebohongan disini. ~ya hanya sedikit mengecoh.
Sementara itu, buat yang ingin benar-benar memakai kamera dengan resolusi 48 megapiksel betulan tanpa interpolasi alias memakai Sony IMX586, maka akan hadir Redmi Note 7 Pro. Kalau begitu apakah Redmi Note 7 Pro akan memakai Snapdragon 855 atau MediaTek Helio P90? Menarik untuk ditunggu.
Sumber: Weibo.
Diberitakan kamera belakang Redmi Note 7 memiliki resolusi yang cukup besar, yakni 48 megapiksel. Sebuah resolusi kamera yang membuat smartphone ini menjadi lebih menarik karena ya itu tadi, pada rentang harga Rp2 jutaan (jika dikonversi ke rupiah) smartphone ini punya resolusi yang sedemikian besar.
Hanya saja polemik pun muncul, karena chipset yang dipakai Redmi Note 7 'hanya' Snapdragon 660. Chipset ini, menurut penjelasan sang pembuatnya, Qualcomm, hanya memiliki ISP (Image Signal Processor) yang mendukung resolusi kamera hingga 25 megapiksel saja. Lalu darimana Redmi menambahkan sisa megapiksel tersebut? Apakah Redmi memalsukan spesifikasinya?
Sumbernya ada pada sensor yang dipakai Redmi Note 7. Sensor ini diketahui bernama ISOCELL GM1 yang dibuat oleh Samsung. Berdasarkan sumber yang resmi, sensor ini memang memiliki resolusi 48 megapiksel. Lalu bagaimana bisa Xiaomi eh maaf Redmi melakukannya? Sebetulnya bukan Redmi pelakunya, namun Samsung GM1 itu sendiri yang memang menjadi 'biang kerok' polemik ini.
Sebelum berlanjut, mari kita belajar dulu soal sensor pada kamera smartphone.
Sebagaimana diketahui, hardware penting yang ada pada kamera disebut sensor CMOS/CCD. Saat ini, sensor yang dipergunakan pada kamera smartphone adalah CMOS. Benda ini mampu mengoversi gambar optik menjadi sinyal elektronik. Pada peralatan kamera apapun, komponen inti terletak pada elemen photosensitive. Elemen ini memang sensitif, namun hanya sensitif pada cahaya, tidak pada warna.
Kalau sebuah sensor CMOS tadi hanya menggunakan photosensitive untuk menghasilkan gambar, maka yang ada hanyalah terang dan gelapnya foto hitam putih. Makanya dibuatlah model RGB untuk membuat foto berwarna. Model ini memang hanya terdiri atas tiga warna saja, yakni Red (merah), Green (hijau), dan Blue (biru). Namun penemuan model ini masih belum membuat foto berwarna yang maksimal.
Barulah kemudian seseorang bernama Bryce Bayer, yang kemudian disebut Bapak Digital Imaging, menciptakan foto berwarna dengan model RGB tadi. Ia menggabungkan ketiga warna tersebut dan menciptakan aneka warna dengan menambahkan sebuah filter di depan elemen photosensitive tadi.
Secara sederhana, apa yang diciptakan oleh Bayer dijelaskan pada gambar dibawah ini. Dimana blok abu-abu merupakan elemen photosensitive, sementara blok RGB berada diatasnya. Setiap piksel RGB terhubung dengan satu piksel elemen photosensitive. Nah, filter RGB ini kemudian disebut dengan Bayer filter.
Namun Bayer filter hanyalah sebuah tahap, meskipun punya andil besar dalam membuat foto hitam-putih menjadi berwarna. Sebab ketika sebuah foto hanya mengandalkan piksel satu-persatu, hasilnya masih jauh dari sempurna. Untuk itulah Bayer kemudian melanjutkan proses penyaringan lewat Bayer filter tadi menjadi sebuah susunan dari hasil filter tersebut. Proses penyusunan hasil jepretan tersebut kemudian disebut dengan Bayer array alias 'susunan Bayer'. Cara kerjanya kurang lebih seperti gambar ini.
Jadi secara singkat, ketika anda menjepret sebuah shutter, maka cahaya yang masuk akan diterima oleh elemen photosensitive kemudian diteruskan ke Bayer filter, dan terakhir dilakukan reproduksi warna sehingga menghasilkan gambar yang baik. Begitulah kira-kira.
Nah, proses diatas terjadi pada apa yang disebut dengan sensor kamera. Pada sebuah sensor tadi ada yang namanya piksel. Setiap piksel selalu mewakili satu warna RGB. Semakin banyak piksel, maka semakin banyak pula RGB-nya, dan pastinya gambar yang dihasilkan pun bakal lebih baik. Dengan rumusan ini, maka besaran resolusi kamera yang disimbolkan dengan satuan megapiksel dianggap lebih besar lebih baik. Itulah kenapa pabrikan kemudian menciptakan sensor dengan resolusi yang besar. Salah dua yang menciptakan sensor yang besar adalah Sony IMX586 dan Samsung GM1.
Sony IMX586 memiliki fitur unggulan yang disebut Quad Bayer. Pada susunan Bayer filter biasa, sebuah piksel akan membentuk susunan sendiri untuk masing-masing piksel tersebut. Namun melalui fitur Quad Bayer, satu filter disusun kedalam satu kelompok yang terdiri atas empat piksel. Setiap satu kelompok piksel ini barulah disusun seperti Bayer filter biasa.
Ketika pengguna kamera memencet shutter, maka Quad Bayer ini akan memberikan izin kepada setiap piksel untuk memperhitungkan warna yang ada dan melakukan konversi struktur piksel tadi kedalam sinyal tersendiri untuk menghasilkan foto dengan resolusi 48 megapiksel.
Sekali lagi, masing-masing piksel yang ada di setiap kelompok Quad bayer tadi tetap menghasilkan sinyal tersendiri secara independen. Resolusi 48 megapiksel yang dihasilkan sensor IMX586 memang asli buatan hardware yang dibenamkan oleh Sony, tanpa adanya interpolasi. Istilah interpolasi berarti memaksa gambar yang sebetulnya kecil atau beresolusi kecil menjadi besar atau beresolusi besar yang dihasilkan melalui software.
Untuk lebih jelas mengenai Quad Bayer bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Namun Quad Bayer yang terjadi pada Samsung GM1 tidak sama dengan IMX586. GM1 memang sama-sama memakai Quad Bayer, namun piksel yang membentuk kelompok tadi tidak bisa menghasilkan sinyal sendiri. Sehingga untuk menciptakan gambar dengan resolusi 48 megapiksel, Samsung membenamkan software untuk menciptakan interpolasi. Pada hakikatnya, gambar yang dihasilkan oleh hardware GM1 hanya 12 megapiksel. Hmmm... ketahuan 'kan?
Kira-kira seperti ini ilustrasinya:
Data ini diketahui dari situs Samsung sendiri, dimana resolusi sensor GM1 adalah 4000x3000 yang mana sama saja dengan gambar beresolusi 12 megapiksel.
Jadi, bisa terjawab mengapa Redmi Note 7 yang notabene memakai chipset Snapdragon 660 bisa memakai kamera dengan resolusi 48 megapiksel. Hal itu disebabkan secara hardware, GM1 sebetulnya hanya memiliki kemampuan menjepret foto dengan resolusi 12 megapiksel saja. Kemudian melalui olahan software bawaan sensornya, gambar yang sebetulnya 12 megapiksel itu diinterpolasi menjadi 48 megapiksel. Jadi sebetulnya, tidak ada kebohongan disini. ~ya hanya sedikit mengecoh.
Sementara itu, buat yang ingin benar-benar memakai kamera dengan resolusi 48 megapiksel betulan tanpa interpolasi alias memakai Sony IMX586, maka akan hadir Redmi Note 7 Pro. Kalau begitu apakah Redmi Note 7 Pro akan memakai Snapdragon 855 atau MediaTek Helio P90? Menarik untuk ditunggu.
Sumber: Weibo.
0 Response to "Redmi Note 7: Polemik Kamera Beresolusi 'Palsu'"
Posting Komentar