Fiksinya Usia 40 Tahun, Faktualnya Kebahagiaan Keluarga

Life begins at forty merupakan sebuah judul buku yang ditulis psikolog Amerika Serikat, Walter Pitkin, pada 1932. Namun frase ini banyak dipakai untuk menggambarkan citra faktual tentang kondisi manusia setelah usia 40 tahun. Usia dimana kisah hidup seseorang akan betul-betul berbeda dan menentukan hingga akhir hayatnya. Saya pun punya cerita sendiri.

Tiga tahun silam, saya baru mendapat kesempatan mengenal kakak ipar lebih dekat. Setelah rumahnya dijual, ia pindah ke kompleks perumahan yang sama dengan kami. Kedekatan rumah ini membuat kami lebih sering saling berkunjung. Dari situlah kemudian saya mengenal lebih dekat dengan kakak laki-laki tertua dari istri ini.

Ia merupakan mantan pekerja tambang, yang sudah wira-wiri di beberapa daerah tambang di Indonesia. Jabatan terakhirnya di tambang tersebut adalah mandor, sampai pemutusan kontrak tambang terjadi dan mengubah jalan hidupnya di usianya yang waktu itu 40 tahun kurang beberapa bulan.

Jalan hidup yang berbeda mesti dilaluinya demi dapur tetap ngebul. Ia pernah menjajakan kue di sekolah-sekolah. Istrinya pun mesti memutar otak agar ada tambahan penghasilan untuk cicilan rumah yang masih menyisa tujuh tahun lagi, dan lebih utama lagi untuk biaya sekolah ketiga anaknya. Sayangnya, kebutuhan dengan pemasukan rumah tangganya tetap tak seimbang.

Beban pikiran pun menggelayuti kakak, yang berujung membuatnya tumbang disebabkan komplikasi penyakit jantung. Di sebuah pagi yang tenang, seusai menunaikan kewajibannya mengantarkan anak kedua dan bungsunya ke sekolah, kakak ipar pergi untuk selamanya. Ya, ia wafat di usia 46 tahun dan meninggalkan istri dan ketiga anaknya yang masih belum mandiri tanpa bekal apapun. Hati saya selalu terenyuh apabila mengingat ini semua.

Persiapan Sebelum Usia 40 Datang

Usia saya kini telah menginjak 32 lebih, yang berarti ada waktu sekitar 8 tahun untuk menghadapi dua kemungkinan pada usia 40 tahun: karir membaik atau kehidupan menurun drastis. Saya selalu berharap yang terbaik, namun setidaknya selalu ada persiapan sebelum yang terburuk itu datang. Satu-satunya harapan adalah keluarga kecil kami tetap berbahagia, apapun yang terjadi.

Ada tiga hal yang saya dan istri saya persiapkan untuk menghadapinya, yakni menabung, mulai berinvestasi, dan daftar asuransi. Ketiga hal ini sedang kami persiapkan betul-betul agar life at forty bisa lebih baik. Hanya saja, darimana memulainya?


Di beranda Facebook kebetulan ada seorang teman yang membagikan artikel tentang Commonwealth Life. Tawarannya cukup menarik sebagai asuransi terbaik dengan unit link yang bervariasi. Dari beberapa jenis, saya lebih tertarik dengan Danatra Cendekia. Pilihan kedua jatuh pada Comm Term sebagai asuransi jiwa, meski mata pun melirik sedikit pada Investra Link yang merupakan gabungan antara investasi terbaik dan asuransi jiwa.

Manfaat asuransi sendiri bagi saya adalah sebagai wujud pendisiplinan finansial. Sebab untuk orang yang kurang disiplin pada hal-hal yang rutin seperti saya, tagihan asuransi yang bersifat ‘memaksa’ membuat saya mesti mengatur prioritas pengeluaran.

Bayangan tentang usia 40 tahun memang masih fiksi di otak saya, namun keyakinan dengan apa yang saya rencanakan dan mulai saya lakukan kemarin dan saat ini akan menjadikannya faktual. Lantas mengapa ini penting saya tuliskan? Sebab saya membiarkannya menjadi jejak digital, agar siapapun bisa menagihnya kalau saja anak dan istri saya hidupnya tidak lebih baik setelah saya menginjak usia 40 tahun.

0 Response to "Fiksinya Usia 40 Tahun, Faktualnya Kebahagiaan Keluarga"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel