Kisah Xiaomi Redmi 5A Yang Naik Harga
Sudah bisa ditebak, Xiaomi Redmi 5A bakal laris bak kacang goreng. Dengan spesifikasi yang wah, dibanderol dengan harga murah, tentu membuat tertarik siapa saja. Tapi ada sebuah pilihan, lebih baik barang murah tapi stok terbatas, atau harga barang itu lebih tinggi tapi tersedia?
Kedua pilihan ini tentu saja merupakan dilema. Sebuah pilihan yang serba sulit. Nah, pilihan itulah yang kini melanda orang-orang yang ingin meminang Xiaomi Redmi 5A itu.
Pasca dirilis secara resmi oleh Xiaomi Indonesia, Redmi 5A menyita perhatian. Hype dimana-mana. Lazada yang memanen hype itu, dan dibuktikan dengan ludesnya belasan ribu Redmi 5A dalam waktu tak lebih dari 10 menit. Bahkan hal ini terjadi dalam dua kali flash sale. Ya setidaknya itu klaim orang dalam Lazada sendiri. Percaya atau tidak? Saya sih percaya saja.
Banyak yang kecewa karena sistem flash sale Lazada yang tiba-tiba melakukan pembatalan sepihak. Ada juga yang beruntung mendapatkannya. Dan seperti biasa, yang kecewa tidak memperoleh satu unit pun dari Redmi 5A mengumpat dimana-mana. Mereka menyalahkan Lazada, dan Xiaomi juga. Tapi kalau saya sih melihatnya wajar terjadi bottle neck semacam itu. Pasalnya ya hype tadi.
Banyak orang ingin membeli smartphone yang sebenarnya dijual normal di harga Rp.1,4 juta hingga Rp.1,5 juta ini pun masih wajar. Sehingga ketika dipangkas di harga Rp.999 ribu, pengguna Lazada yang mencapai 58 juta orang perbulan (Data dari iPrice), ditambah pengguna internet lain yang jumlahnya dua kali lipat dari itu, ikut mengantri Redmi 5A. Jadi wajar saja sistem yang biasanya hanya menerima traffic sejuta pengunjung perhari, tiba-tiba mendapat lonjakan traffic yang lebih tinggi.
Jadi wajar dong ketika 15.000 unit yang disediakan Xiaomi Indonesia untuk flash sale Lazada, ludes sebentar saja. Sangat wajar. Tapi bukan ini yang ingin saya bahas.
Hunger Marketing
Istilah hunger marketing pernah muncul ketika Xiaomi pertama kali masuk ke Indonesia dan dipasarkan lewat e-commerce. Hype di internet, dan ludes lewat e-commerce. Sebuah pasangan serasi. Hunger marketing, secara sederhana, adalah penciptaan kondisi agar konsumen merasa 'lapar' terhadap barang yang dijual, kemudian barang itu disediakan dalam stok terbatas. Sehingga rasa 'lapar' ini dipelihara untuk keuntungan merek yang bersangkutan. Apple juga sering dianggap melakukan trik hunger marketing ini.
Saat dirilis, Xiaomi menyebut harga Redmi 5A di China kalau dikonversi sebesar Rp.1.3 juta. Kemudian ketika diketahui harganya Rp.999 ribu, tentu saja trik perbandingan harga tadi berhasil. Apalagi sebelumnya Donovan Sung telah membandingkan Redmi 5A dengan merek sebelah, yang dari sisi spesifikasi lebih rendah, tapi dari sisi harga lebih mahal. Redmi 5A akhirnya jadi barang incaran. Hingga agenda flash sale Lazada yang sukses itu.
Rasa lapar konsumen kemudian disuguhkan dengan (maaf saya menyebutnya:) drama kelangkaan Redmi 5A. Orang lapar kalau disuguhkan dengan makanan yang sedikit lebih mahal, ia bakal mau saja. Dan begitulah trik hunger marketing itu bekerja. Distributor di lini bawah seperti konter dan penjual perorangan mengambil untung dengan menjual Xiaomi Redmi 5A lebih tinggi dari harga resmi.
Loh, pada merek sebelah, kalau konter dengan jalur distributor resmi menjual barang dengan harga yang berbeda dari harga resmi, bisa kena sanksi. Sayangnya di Xiaomi hal ini tak terjadi. Saya melihatnya sejak Xiaomi Mi A1. Harga resminya Rp.3.099.000, tapi ada yang menjualnya hingga Rp.3,3 juta. Itu saat pertama kali smartphone kelas menengah Xiaomi tanpa MIUI ini muncul. Sekarang harganya sudah normal lagi. Sepertinya hal yang sama juga bakal terjadi pada Redmi 5A.
Dengan melihat fenomena yang diciptakan Xiaomi ini, sebenarnya pabrikan asal Cina ini tanpa sengaja menunjukkan dua hal. Pertama, jalur distribusinya belum sebagus merek lainnya di Indonesia, sebab standarisasi harga belum bisa diatur. Kedua, Xiaomi sengaja memelihara soal hype ini agar banyak orang terus membicarakan Xiaomi. Dengan begitu, nama Xiaomi terdongkrak tanpa banyak promo, dan lambat laun mereka pun menguasai pasar smartphone Indonesia. Benarkah?
Untuk jumlah orang yang membicarakan Xiaomi di internet, banyak merek memang kalah jauh. Namun kalau mau menggeser posisi Samsung, Oppo, Advan dan Vivo di empat besar pemilik market share Indonesia, Xiaomi mesti memperbaiki jalur distribusi tadi dan tak cuma mengandalkan hype semata.
Ibaratnya, suburnya tanah tak ditentukan oleh petir yang sekali menggelegar, tapi ditentukan oleh rintik-rintik hujan yang bersahutan. Hype boleh sesekali, tapi tentu itu tak cukup.
Kedua pilihan ini tentu saja merupakan dilema. Sebuah pilihan yang serba sulit. Nah, pilihan itulah yang kini melanda orang-orang yang ingin meminang Xiaomi Redmi 5A itu.
Pasca dirilis secara resmi oleh Xiaomi Indonesia, Redmi 5A menyita perhatian. Hype dimana-mana. Lazada yang memanen hype itu, dan dibuktikan dengan ludesnya belasan ribu Redmi 5A dalam waktu tak lebih dari 10 menit. Bahkan hal ini terjadi dalam dua kali flash sale. Ya setidaknya itu klaim orang dalam Lazada sendiri. Percaya atau tidak? Saya sih percaya saja.
Banyak yang kecewa karena sistem flash sale Lazada yang tiba-tiba melakukan pembatalan sepihak. Ada juga yang beruntung mendapatkannya. Dan seperti biasa, yang kecewa tidak memperoleh satu unit pun dari Redmi 5A mengumpat dimana-mana. Mereka menyalahkan Lazada, dan Xiaomi juga. Tapi kalau saya sih melihatnya wajar terjadi bottle neck semacam itu. Pasalnya ya hype tadi.
Banyak orang ingin membeli smartphone yang sebenarnya dijual normal di harga Rp.1,4 juta hingga Rp.1,5 juta ini pun masih wajar. Sehingga ketika dipangkas di harga Rp.999 ribu, pengguna Lazada yang mencapai 58 juta orang perbulan (Data dari iPrice), ditambah pengguna internet lain yang jumlahnya dua kali lipat dari itu, ikut mengantri Redmi 5A. Jadi wajar saja sistem yang biasanya hanya menerima traffic sejuta pengunjung perhari, tiba-tiba mendapat lonjakan traffic yang lebih tinggi.
Jadi wajar dong ketika 15.000 unit yang disediakan Xiaomi Indonesia untuk flash sale Lazada, ludes sebentar saja. Sangat wajar. Tapi bukan ini yang ingin saya bahas.
Hunger Marketing
Istilah hunger marketing pernah muncul ketika Xiaomi pertama kali masuk ke Indonesia dan dipasarkan lewat e-commerce. Hype di internet, dan ludes lewat e-commerce. Sebuah pasangan serasi. Hunger marketing, secara sederhana, adalah penciptaan kondisi agar konsumen merasa 'lapar' terhadap barang yang dijual, kemudian barang itu disediakan dalam stok terbatas. Sehingga rasa 'lapar' ini dipelihara untuk keuntungan merek yang bersangkutan. Apple juga sering dianggap melakukan trik hunger marketing ini.
Saat dirilis, Xiaomi menyebut harga Redmi 5A di China kalau dikonversi sebesar Rp.1.3 juta. Kemudian ketika diketahui harganya Rp.999 ribu, tentu saja trik perbandingan harga tadi berhasil. Apalagi sebelumnya Donovan Sung telah membandingkan Redmi 5A dengan merek sebelah, yang dari sisi spesifikasi lebih rendah, tapi dari sisi harga lebih mahal. Redmi 5A akhirnya jadi barang incaran. Hingga agenda flash sale Lazada yang sukses itu.
Rasa lapar konsumen kemudian disuguhkan dengan (maaf saya menyebutnya:) drama kelangkaan Redmi 5A. Orang lapar kalau disuguhkan dengan makanan yang sedikit lebih mahal, ia bakal mau saja. Dan begitulah trik hunger marketing itu bekerja. Distributor di lini bawah seperti konter dan penjual perorangan mengambil untung dengan menjual Xiaomi Redmi 5A lebih tinggi dari harga resmi.
Loh, pada merek sebelah, kalau konter dengan jalur distributor resmi menjual barang dengan harga yang berbeda dari harga resmi, bisa kena sanksi. Sayangnya di Xiaomi hal ini tak terjadi. Saya melihatnya sejak Xiaomi Mi A1. Harga resminya Rp.3.099.000, tapi ada yang menjualnya hingga Rp.3,3 juta. Itu saat pertama kali smartphone kelas menengah Xiaomi tanpa MIUI ini muncul. Sekarang harganya sudah normal lagi. Sepertinya hal yang sama juga bakal terjadi pada Redmi 5A.
Dengan melihat fenomena yang diciptakan Xiaomi ini, sebenarnya pabrikan asal Cina ini tanpa sengaja menunjukkan dua hal. Pertama, jalur distribusinya belum sebagus merek lainnya di Indonesia, sebab standarisasi harga belum bisa diatur. Kedua, Xiaomi sengaja memelihara soal hype ini agar banyak orang terus membicarakan Xiaomi. Dengan begitu, nama Xiaomi terdongkrak tanpa banyak promo, dan lambat laun mereka pun menguasai pasar smartphone Indonesia. Benarkah?
Untuk jumlah orang yang membicarakan Xiaomi di internet, banyak merek memang kalah jauh. Namun kalau mau menggeser posisi Samsung, Oppo, Advan dan Vivo di empat besar pemilik market share Indonesia, Xiaomi mesti memperbaiki jalur distribusi tadi dan tak cuma mengandalkan hype semata.
Ibaratnya, suburnya tanah tak ditentukan oleh petir yang sekali menggelegar, tapi ditentukan oleh rintik-rintik hujan yang bersahutan. Hype boleh sesekali, tapi tentu itu tak cukup.
0 Response to "Kisah Xiaomi Redmi 5A Yang Naik Harga"
Posting Komentar